Jika ketika membaca judul tulisan ini ada di antara pembaca yang langsung mencap subversif, maka pendidikan nasional kita telah gagal memberikan pemahaman yang baik mengenai demokrasi. Demokrasi diajarkan sebagai sebuah ide fiks yang tidak boleh diganggu-gugat. Padahal demokrasi boleh digugat, walau tidak boleh diganggu.
Melalui tulisan kali ini, kita akan mencoba untuk menggugat demokrasi. Kita akan mencoba menggugat demokrasi dengan memberikan kritikan-kritikan terhadapnya. Berbeda dengan agama yang menawarkan ide fiks. Konsekuensinya segala sesuatu di luar agama pantas untuk dikritik kan? Lagi pula segala hal di dunia ini adalah sebagaimana kita di mata gebetan, tidak akan pernah mencapai kesempurnaan.
Saya pikir sejarah demokrasi seperti asal katanya yaitu demos-kratos blablabla itu sudah kita khatami di sekolah. Tapi, di sekolah jarang sekali kita membahas ketidaksemperunaan demokrasi. Padahal jika kita mempleajari sejarah demokrasi, kita bisa dengan mudah menemukan ketidaksempurnaan demokrasi. Apa bukti bahwa demokrasi tidak sempurna? Bukti ketidaksempurnaan demokrasi dapat kita temukan di tempat kelahirannya, Yunani Kuno.
Pada tahun 399 SM, dilakukan sebuah peradilan kepada seorang filsuf bernama Socrates. Socrates adalah guru dari Plato, dan Plato adalah guru dari Aristoteles. Socrates adalah guru dari orang-orang yang namanya sering kita gunakan untuk quotes ala-ala. Hal ini membuktikan kehebatan pemikiran-pemikiran Socrates. Benar? Kenyataan pahit yang harus kita terima adalah Socrates dihukum mati berkat sistem pemungutan suara. Dengan tuduhan mengajarkan hal-hal tidak-tidak kepada para pemuda melalui pikirannya, Socrates dijatuhi hukuman mati oleh peradila Athena setelah dilakukan pemungutan suara oleh 500 orang. Sebagaimana yang kita ketahui, hal yang sama dengan yang dialami oleh Socrates juga dialami oleh Yesus Kristus.
Kelemahan sistem “dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat” sendiri sebenarnya dapat kita cermati dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari ketika sekumpulan orang tidak bertanggung jawab melakukan voting untuk melakukan tindakan main hakim sendiri. Bahkan ketidaksempurnaan demokrasi dapat kita temukan dalam hal-hal simpel di kehidupan sehari-hari seperti saat kita voting untuk memilih tempat makan dan ternyata makanannya tidak enak atau sekumpulan anak sekolah sepakat untuk membully seorang anak lainnya yang mana anak tersebut kemudian menjadi rajin belajar, sukses, kemudian menikahi gadis terpopuler saat sekolah, dan sekumpulan pembullypembully akhirnya susah hati mau ngutang.
Ketidaksempurnaan demokrasi seperti apa yang dapat kita tarik dari contoh-contoh di atas? Sebagaimana yang kita ketahui bahwa prinsip demokrasi adalah “dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat”. Masalahnya adalah, apakah rakyat dapat memutuskan yang terbaik untuk dirinya sendiri? Bagaimana jadinya jika rakyat tidak mampu memutuskan yang terbaik untuk dirinya sendiri? Jadinya adalah hal semacam terpilihnya 41 anggota DPRD Malang yang menjadi tersangka kasus korupsi dari total 45 anggota. Memberikan demokrasi kepada rakyat yang belum siap jadi seperti memberikan kebebasan kepada seorang anak yang belum memahami mana yang baik dan buruk baginya.
Lalu, apakah demokrasi harus kita ganggu-gugat? Sudah kita gugat, tapi tidak akan kita ganggu seperti yang sudah kita sepakati di awal. Sepahit-pahitnya keputusan yang dihasilkan demokrasi, pahit tersebut adalah obat. Obat yang akan membuat kita jadi lebih sadar untuk menjaga kesehatan agar tidak perlu menelan obat yang pahit lagi. Lagipula, kita sebagai manusia dikutuk untuk mencari kebebasan. Meski demokrasi terkadang seolah-olah terlihat seperti memberikan kebebasan kepada seorang anak yang belum mamhami baik-buruk, melalui kebebasan itulah anak tersebut dapat belajar dengan baik, bukan melalui perintah, perintah, dan perintah yang hanya akan memunculkan masalah perkembangan.
Pada akhirnya, marilah bersama kita hindari diri dari berbagai pil-pil pahit yang telah cukup banyak kita telan. Mari kita maknai demokrasi yang selalu kita tuntut dan berhasil walau nyatanya tidak selalu dibarengi perbaikan kesejahtraan. Mungkin itu adalah karena kita belum dapat memaknai demokrasi? Maka, sekali lagi, mari kita maknai. Gunakan hak politik kita dengan baik dalam sistem politik bernama demokrasi ini. Bisa dimulai melalui Pemlu dan Pilpres dengan memilih pemimpin yang baik. Misalnya, dengan mengetahui bahwa ada 38 caleg mantan koruptor (https://mojok.co/red/rame/kilas/ini-daftar-38-caleg-mantan-koruptor-di-pileg-2019/), bahkan ada mantan terdakwa pembunuhan berencana yang mengikuti pemilu.
Komentar
Posting Komentar