Apakah Oedipus atau Sangkuriang Abadi di Indonesia?



Dalam sebuah mitologi Yunani, terdapat sebuah cerita mitos yang sangat terkenal, mitos Oedipus. Diceritakan bahwa Oedipus membunuh ayahnya sendiri tanpa ia sadari, kemudian ingin menikahi ibunya sendiri tanpa ia sadari pula. Nafsunya tersebutlah yang membawa petaka bagi diri dan ibunya sendiri. Pada akhir cerita, keduanya menyadari hubungan ibu-anak mereka. Ibunya berakhir bunuh diri, kemudian Oedipus membutakan matanya sendiri dengan bros pada gaun ibunya.
Sedangkan Sangkuriang adalah legenda dari Jawa Barat. Sama seperti Oedipus, Sangkuriang membunuh ayahnya sendiri tanpa ia sadari. Masih sama dengan Oedipus, Sangkuriang hendak menikahi Ibunya, Dayang Sumbi. Bedanya adalah, Dayang Sumbi telah memberi tahu Sangkuriang bahwa keduanya adalah ibu-anak dan menolak Sangkuriang. Meski begitu, akhir cerita Oedipus dan Sangkuriang sama tragisnya. Nafsu mereka sendirilah yang membawa petaka bagi ia dan apa yang ia inginkan. Meski tahu Dayang Sumbi adalah ibunya, Sangkuriang tetap ingin menikahi ibunya. Dayang Sumbi pun mensyaratkan Sangkuriang untuk membuat telaga dan perahu untuk menikahinya. Berbagai konflik terjadi, Sangkuriang dengan penuh amarah menendang perahu yang ia buat sehingga menjadi gunung, dan membocorkan bendungan di sebelah telaga yang ia bangun. Dayang Sumbi dan Sangkuriang berkejar-kejaran hingga Dayang Sumbi memohon kepada dewa untuk menyelamatkannya. Dayang Sumbi kemudian berubah menjadi setangkai bunga, sedangkan Sangkuriang tiba-tiba menghilang ke alam gaib.
Bila kita menilik sejarah, pemimpin-pemimpin Indonesia tak ubahnya Oedipus dan Sangkuriang. Adapun Ibu Pertiwi, rakyat Indonesia, tak ubahnya Ibu mereka. Parahnya, Oedipus atau Sangkuriang bagai abadi dengan wujud pemimpin di Indonesia karena kisahnya bagai terus berulang.
Mulai dari pemimpin Indonesia masa Orde Lama yang lahir dengan membunuh ayah mereka, penjajahan di Indonesia. Penjajahan-penjajahan tersebut tidak dapat kita pungkiri adalah satu di antara pendorong lahirnya Indonesia. Tanpa adanya kesamaan rasa sebagai wilayah bekas jajahan, tidak ada jaminan Indonesia dapat terlahir seperti Indonesia yang kita kenal sekarang. Sayangnya, para pemimpin Orde Lama kemudian bagai menggantikan penjajah “menikmati tubuh Ibu Pertiwi” karena para pemimpin mengejar keinginan pribadi saat rakyat menderita. Maka Orde Lama dibunuh oleh anaknya, Orde Baru.
Orde Baru membunuh Orde Lama dengan dalih Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) yang merasa bahwa pemimpin Orde Lama “menikmati tubuh Ibu Pertiwi”. Namun, Orde Baru pun kembali “menikmati tubuh Ibu Pertiwi”. Para pemimpin hidup mengejar keinginan pribadi saat rakyat hidup sengsara. Maka dibunuhlah Orde Baru dengan Agenda Reformasi. Dan lahirlah kita, Pemimpin Reformasi.
Kita telah membunuh Orde Baru. Apakah kelak nantinya kita akan kembali menjadi Oedipus atau Sangkuriang? Kita saat ini memiliki persamaan dengan Oedipus maupun Sangkuriang. Kita telah membunuh ayah kita. Maka, akan muncullah pemimpin-pemimpin baru. Sekarang, tinggal apakah kita akan kembali “menikmati tubuh Ibu Pertiwi”? Perbuatan yang akan membawa petaka bagi kita sendiri nantinya.
Di awal cerita kita telah belajar bahwa terdapat satu perbedaan antara kisah Oedipus dengan Sangkuriang. Oedipus menikahi Ibunya tanpa tahu hubungan darah mereka, sedangkan Sangkuriang tetap ingin menikahi Ibunya meski tahu hubungan darah mereka. Maka, menjadi Oedipus dan Sangkuriang sesungguhnya berebda.
Kita akan menjadi Oedipus jika kita kembali “menikmati tubuh Ibu Pertiwi” tanpa belajar sejarah bahwa itu adalah perbuatan yang akan membawa petaka bagi kita sendiri. Namun, bila kita telah belajar sejarah bahwa “menikmati tubuh Ibu Pertiwi” akan membawa petaka bagi diri kita, namun kembali mengulangnya, maka kita adalah Sangkuriang.
Oedipus atau Sangkuriang bukan saja kemungkinan adalah mereka yang saat ini memimpin dengan korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan keji lainnya. Bisa saja adalah para anak muda yang sejak masa belajar untuk memimpin Indonesia telah berbuat curang untuk mengejar keinginan pribadi dengan menyengsarakan orang lain. Sebut saja menyontak, berbohong tentang kemampuan finansial, atau berbohong untuk memenangkan lomba.
Apakah Oedipus dan Sangkuriang abadi di Indonesia? Kita sendiri yang tentukan.

Komentar

  1. Catatan penulis.

    Haii, ini Zaka!

    Sebelumnya ga pernah tertarik buat nulis campur aduk antara fiksi dengan ilmiah. Penulis sendiri sering merasa antipati dengan pemimpin yang menyamakan dirinya dengan tokoh-tokoh mitologi. Misalnya pemimpin Indonesia yang senang menyamakan diri mereka dengan tokoh-tokoh Mahabratha. Tapi, kali ini adalah pengecualian.

    Dalam tulisan ini, penulis berharap fiksi yang seolah relevan dengan kondisi realita ini dapat membangkitkan imajinasi dan semangat pembaca. Semangat yang dimaksud adalah semangat yang penulis tulis di bagian akhir tulisan, yaitu semangat untuk tidak mengulang kesalahan yang sama dengan yang telah bangsa kita lakukan sebelumnya.

    Semoga bermanfaat!

    BalasHapus

Posting Komentar