Kamu dan saya mungkin sama. Kita pernah
atau sampai sekarang bercita-cita untuk membuat semua orang di dunia bahagia. Jika
ya, maka yang kita butuhkan adalah dunia yang “inklusif”, sebuah dunia di mana
semua orang diterima dengan segala perbedaannya. Tantangan untuk mewujudkannya
adalah kita perlu memahami semua orang di dunia ini dengan segala perbedaan
yang ada, termasuk mereka yang memiliki disabilitas. Sudah kah kita memahami
mereka?
Untuk memahami mereka yang memiliki
disabilitas, Yayasan Sayangi
Tunas Ciliki, Partner Save the Children, memberikan saya
kesempatan untuk tinggal bersama keluarga anak dengan disabilitas di sebuah
daerah di Kabupaten Bandung Barat (sekitar 2 jam dari pusat kabupaten) selama 3
hari 2 malam dalam kegiatan Youth-Live In IDEAL. Dan melalui tulisan ini, saya
akan mencoba membagikan pemahaman saya tentang arti “menjadi inklusif” yang
saya dapatkan dari pengalaman saya selama mengikuti Youth-Live In IDEAL.
Kita Semua Memang Berbeda,
Kita Unik
Ketika sampai di rumah adik dan keluarga
baru saya, saya langsung diajak oleh adik saya untuk bermain. Sebuah permainan
desa, namanya “panggal”. Di daerah lain, permainan ini dikenal dengan nama
gasing. Berkali-kali saya mencoba bermain panggal, berkali-kali adik baru saya menjelaskan
dan memperagakan bagaimana seharusnya, berkali-kali pula ia tertawa melihat
saya yang selalu gagal memainkannya. Dan ya, 3 hari berturut-turut sampai akhir
program saya mencoba memainkannya, saya tidak pernah berhasil.
Oh iya, saya lupa kenalkan. Adik baru
saya ini namanya Rizky Umurnya 14 tahun. Ia memiliki perbedaan koordinasi
motorik dengan orang kebanyakan. Saat melakukan suatu gerakan, tubuhnya dengan
refleks melakukan berbagai gerakan yang tidak diperlukan. Tubuhnya juga sangat
sensitif terhadap stimulus, sering kali tubuhnya memberikan gerakan refleks
yang tidak diperlukan. Dia memang berbeda, bagi kita dia memiliki keterbatasan.
Namun, tidak menjadi masalah, kita semua memang berbeda dan memiliki
keterbatasan. Buktinya, Rizky mampu bermain panggal dengan baik, sedangkan saya
tidak.
Kita sering kali tidak sadar, namun
sebenarnya manusia itu hakikatnya memang berbeda-beda. Ada yang tinggi dan ada
yang pendek, ada yang warna kulitnya hitam dan ada yang putih, ada yang
makannya banyak tetap kurus dan ada yang makannya sedikit malah gemuk.
Bayangkan jika kita memiliki perbedaan dari kebanyakan orang. Katakanlah kita
gemuk dan semua orang fokus memikirkan dan membicarakan kegemukan kita, apakah
kita akan senang? Tentu tidak, kita ingin orang lebih fokus pada apa yang bisa
kita lakukan daripada hal yang tidak bisa kita lakukan. Hal yang sama dirasakan
oleh teman-teman kita yang memiliki disabilitas. Bahkan, perbedaan yang mereka
miliki sering kali bukan hal yang dapat mereka ubah, maka mari fokus pada hal
yang bisa kita ubah, cara kita memandang mereka.
Istilah disabilitas (disability) pun dapat kita peredebatkan
untuk menjadi difabel (different
abilities) karena sering kali bukannya teman-teman kita tidak bisa
melakukan suatu hal, hanya caranya yang berbeda. Contohnya, mereka yang tidak
bisa melihat bukannya tidak bisa membaca buku, hanya butuh huruf braile atau
fitur screen reader yang sudah
tersedia di hape-hape terkini. Ada juga teman-teman kita yang berbicara
menggunakan bahasa isyarat. Beberapa teman-teman kita yang tidak memiliki
tangan mahir melukis dan bermain alat musik dengan kaki. Sesuatu yang orang
lain mungkin tidak bisa lakukan dengan tangan. Saya contohnya, ujian praktikum
musik saya remedi padahal hanya main pianika. Hiks
Untuk menjadi inklusif, kita
harus memahami bahwa kita semua memang berbeda. Fokuslah pada apa yang kita dan
orang lain bisa lakukan.
Kita yang Membuat
Keterbatasan Mereka Bertambah
Terlepas dari mereka memiliki
keterbatasan atau hanya caranya melakukan hal yang berbeda, sering kali kitalah
yang membuat keterbatasan teman-teman kita bertambah. Selama saya tinggal
bersama keluarga baru saya, setiap malam saya pergi ke pengajian bersama adik
baru saya, Rizky. Bacaan Al-Qur’an-nya sangat lancar. Bacaan Al-Qur’an-nya yang
baik membuat saya kecewa. Dengan kemampuan intelektualnya yang dapat membaca
Al-Qur’an, mengapa ia tidak bisa membaca buku-buku cerita berbahasa Indonesia
yang saya bawakan untuknya. Mengapa ia tidak mendapatkan pendidikan formal yang
menjadi haknya?
Saat
mendengar alasan mengapa Rizky tidak pernah mengenyam pendidikan formal, saya
semakin yakin betapa banyaknya kita memberikan batasan kepada teman-teman kita
yang memiliki disabilitas. Alasan Rizky dan Ibunya untuk tidak mendaftarkan
Rizky sekolah adalah takut Rizky mendapatkan rundungan (bullying) jika pergi bersekolah. Alasan yang cukup logis karena
pengalaman teman-teman Rizky yang memiliki disabilitas mengalami perundungan
saat mencoba bersekolah di daerahnya. Alasan kedua adalah lokasi sekolah khusus
yang cukup jauh dan biaya yang terlampau mahal untuk dicapai keluarga Rizky.
Seandainya kita mampu menciptakan
lingkungan pendidikan yang mampu menerima perbedaan dengan lebih baik layaknya
pengajian yang Rizky ikuti sejak kecil, sekarang pasti sudah dapat membaca
dengan baik sebaik kemampuan Rizky mebaca Al-Qur’an.
Ironi ini tidak hanya terjadi pada
Rizky. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2015, penyandang disabilitas
usia 5-29 tahun 41,89%-nya tidak atau putus sekolah, 21,61%-nya tidak pernah
bersekolah sama sekali. Padahal, kenyataannya kemampuan mereka untuk menempuh
pendidikan formal sama seperti kita. Sudah banyak sekolah dan kampus yang
membuktikan bahwa capaian prestasi mereka sama dengan pelajar atau mahasiswa
lainnya. Ketua Program Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas
Brawijaya, Fadhillah Putra, menyatakan bahwa persentase mahasiswa cumlaude, berprestasi biasa, dan drop out antara mahasiswa dengan
disabilitas dan tidak nyatanya sama saja (Tirto, 2018).
Batasan-batasan yang kita tambahkan
pada mereka yang memiliki disabilitas juga sering kali dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari. Mereka didiskriminasi dan diisolasi. Tidak jarang
diskriminasi dan isolasi dari masyarakat mendorong keluarga juga untuk
mengisolasi anak-anak mereka yang memiliki disabilitas karena takut anaknya
mengalami hal yang tidak menyenangkan, bahkan terkadang isolasi didorong oleh
rasa malu keluarga. Ketika isolasi dilakukan, maka potensi anak-anak kita akan
sulit dikembangkan karena mereka akan sulit menerima diri mereka sendiri.
Dalam kasus adik saya, Rizky, kurangnya
interaksi dia dengan orang lain karena tidak bersekolah dan lingkungan bermain
yang terbatas menyebabkan ia juga memiliki kesulitan untuk berkomunikasi.
Sehari-hari, ketika berbicara ia hanya mengatakan satu-dua kata menurut Ibunya.
Apakah ia benar-benar tidak mampu? Tidak juga. Kemampuan berbahasa Indonesianya
lebih baik daripada teman-temannya yang lain. Sering kali ia menjadi penerjemah
saya ketika berinteraksi dengan teman-temannya yang hanya lancar berbahasa
Sunda. Meski hanya berbicara satu-dua kata, ia memahami tiap perkataan saya
dalam bahasa Indonesia. Ia belajar dari TV katanya. Saya semakin percaya bahwa
adik saya ini sebenarnya masih memiliki potensi yang lebih banyak yang dapat
dikembangkan.
Kita baru membicarakan batasan-batasan buatan
masyarakat kepada mereka yang memiliki disabilitas dalam akses pendidikan dan
penerimaan dalam masyarakat. Masih ada banyak batasan lain yang tanpa sadar
kita ciptakan. Mulai dari fasilitas umum yang tidak ramah disabilitas. Misalnya
berita tanpa penerjamah bahasa isyarat atau jalan tanpa guiding block (jalan kuning dengan isyarat titik dan garis untuk
orang dengan disabilitas netra).
Fenomena-fenomena seperti guiding block yang dibuat menabrak tiang
menjadi contoh sebaik apapun kebijakan pemerintah dibuat, jika masyarakat masih
belum mampu memahami orang-orang dengan disabilitas, maka kebijakan tersebut
tidak akan mencapai tujuannya. Dalam kasus guiding
block, itikad pemerintah untuk memfasiltiasi orang dengan disabilitas netra
menggunakan jalan tidak tercapai karena masyarakat yang mengeksekusinya tidak
paham maksud dari kebijakan tersebut. Bukti lainnya yang lebih umum adalah
bagaimana kita belum menjalankan amanah UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas untuk menyerap tenaga kerja dengan disabilitas. Penerimaan yang
kurang dari masyarakat ini membuat pelatihan keterampilan yang diberikan kepada
orang-orang disabilitas menjadi percuma karena tidak diberdayakan oleh
masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari pun kita
sering kali memberikan batasan-batasan kepada orang-orang dengan disabilitas.
Kita sering kali memberi rasa kasihan kepada orang-orang dengan disabilitas
padahal mereka tidak membutuhkannya. Seolah-olah mereka tidak perlu melakukan
apa-apa dan tinggal diberi bantuan terus-menerus. Sederhana saja solusinya,
cobalah pahami mereka. Cara termudahnya adalah dengan bertanya.
Untuk menjadi inklusif, kita
harus menerima keterbatasan semua orang. Menerima berarti tidak
mengurang-ngurangi keterbatasannya, tidak juga melebih-lebihkan
keterbatasannya. Dengan menerima semua orang apa adanya, kita dapat memberikan
perlakuan yang sesuai bagi setiap orang untuk dapat memaksimalkan potensinya.
Kita Dapat Lebih Baik
Dari Ini
Tempat
pertama saya bertemu adik dan keluarga baru saya adalah sebuah acara terapi
gratis untuk anak dengan disabilitas yang diadakan oleh Organisasi Rehabilitasi Berbasis Masyarakat
(RBM). Saat pertama kali bertemu dengan Rizky, ia sangat
pemalu. Jarang sekali mau menjawab pertanyaan dari orang lain termasuk saya. Ia
juga terlihat setengah enggan mengikuti kegiatan terapi. Untuk membantu Rizky,
saya mencoba bertanya kepada fisioterapis yang bertugas mengenai terapi yang
bisa dilakukan oleh Rizky di rumah. Sang fisioterapis kemudian mengajarkan saya
beberapa gerakan dan memberi saran agar Rizky diarahkan untuk tenang dan tidak
tegesah-gesah ketika melakukan sesuatu.
Hari pertama saya mencoba mengajak
Rizky melakukan terapi di rumah cukup sulit. Dari cerita Ibu kami, Rizky memang
jarang sekali mau melakukan terapi ke fisioterapis, apalagi di rumah, tidak mau
sama sekali. Namun saya tidak mau menyerah. Saya coba berikan pengertian ke
Rizky bahwa ini adalah proses belajar. Dia tidak berbeda dengan saya yang
mencoba belajar bermain panggal (gasing). Saya tidak menyerah walau sulit untuk
mempelajarinya, namun saya melakukan kemajuan dalam beberapa hal. Begitu juga
dia, meski kemajuan dalam gerakan tubuhnya tidak banyak dalam setiap harinya,
ia tidak boleh menyerah. Itulah yang namanya belajar.
Selain mengajaknya untuk melakukan
tugas terapi di rumah dari fisioterapis, saya juga mengajak Rizky merapikan
tempat tidur saat hari pertama saya bangun di rumah keluarga baru saya bersama
Rizky. Saya benar-benar bahagia ketika di hari kedua saya bangun, saya melihat
Rizky sedang melipat selimut di samping saya dan mengajak saya melakukan
terapi. Sebuah kemajuan bisa kita lakukan ketika kita menerima mereka dengan
tulus. Kita bisa menjadi lebih baik saya pikir.
Saya tidak sedang berkhayal. Kita
memang bisa menjadi lebih baik dari ini. Memang terlihat berat. Sama seperti
dahulu, semuanya terlihat berat. Dahulu, tidak ada yang menyangka bahwa kita
dapat menyediakan buku-buku braile, uang dengan kode yang dapat dirasakan
dengan sentuhan, sekolah inklusi, jalan-jalan dengan guiding-block, orang-orang
ramai mempelajari bahasa isyarat dan lain sebagainya.
Rizky dan teman-teman di daerahnya
pun begitu. Sampai sekarang Rizky masih tidak tahu diagnosis klinis
keterbatasannya dan terapi seperti apa yang seharusnya dilakukan dari awal agar
keterbatasannya tidak memburuk. Fisioterapisnya pun tidak tahu dengan pasti
karena Rizky jarang sekali melakukan kontrol. Namun, setahun terakhir telah ada
RSUD di dekat rumah Rizky sehingga ia bisa melakukan kontrol dengan lebih baik.
Juga ada RBM yang peduli kepada Rizky
dan teman-temannya. RBM dengan kepedulian yang tulus menjemput anak-anak dengan
disabilitas di Bandung Barat untuk mengikuti terapi gratis, juga diadvokasikan
pelayanan sosial dan hak pendidikannya. Banyak anak yang telah merasakan secara
nyata manfaat RBM. Saya harap Rizky menemukan motivasinya untuk lebih rajin
belajar mengembangkan potensinya terlepas dari apapun keterbatasannya, ia mulai
sekarang bisa fokus pada apa yang dapat ia lakukan.
Ada
tiga hal lagi yang membuat saya yakin kita mampu menjadi lebih baik :
1.Ketika kita mampu menerima dengan
tulus perbedaan yang dimiliki oleh teman-teman kita yang memiliki disabilitas,
kita akan menjadi lebih baik dalam menerima perbedaan lainnya.
2.Kita
juga akan menjadi lebih fokus pada apa yang kita bisa lakukan, bukan yang tidak
bisa kita lakukan karena pada dasarnya semua manusia memiliki keterbatasan.
3.Bagaimana
Rizky dan Rizky-rizky lainnya yang memiliki keterbatasan mendapatkan penerimaan
dan cinta menunjukkan bahwa arti cinta manusia itu memang luar biasa. Cinta
tidak terbatas pada kata-kata, tidak pula tatapan mata, tidak pula telinga yang
mendengarkan, tidak pula tangan yang menggenggam, tidak pula langkah kaki yang
seragam. Kita tidak butuh itu semua. Rizky dan Rizky-rizky lainnya menunjukkan
bahwa untuk merasakan cinta, dengan segala perbedaan yang dimilikinya, seseorang
di dunia ini cukup “ada” maka ia layak mendapatkan cinta.
Untuk menjadi inklusif adalah
untuk membantu menciptakan dunia yang lebih baik.
Zakaria
Anshari,
Psikologi
Unpad 2018
#BerpihakPadaAnak
#YouthLiveIn
======================================================================
*Nama
anak dalam tulisan ini bukanlah nama sebenarnya
*Nama
dan lokasi spesifik sengaja dirahasiakan demi kepentingan terbaik untuk anak
*Baca
juga cerita lengkap saya selama di Youth Live-In IDEAL dalam tulisan (soon)
Referensi
tambahan :
Kemenkes RI,
2014. Buletin
Jendela Data dan Informasi Kesehatan
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-disabilitas.pdf
UNICEF, 2013. Keadaan Anak di Dunia :
Anak Penyandang Disabilitas 2013
https://www.unicef.org/indonesia/id/SOWC_Bahasa.pdf
Tirto, 2018. Penyandang
Disabilitas Masih Sulit Mengakses Perguruan Tinggi
https://tirto.id/penyandang-disabilitas-masih-sulit-mengakses-perguruan-tinggi-c6am
Haiii Zaka, gua setuju sama lu Zak, tentang seluruh isi artikelnya.
BalasHapusTopik yang dibicarakan menarik sekaligus memberikan kesadaran dan pembelajaran bagi orang lain yang mungkin aja jarang terpapar informasi mengenai disabilitas.
Tulisannya juga cukup lengkap, ditambah ada referensi tambahannya.
Yang gua suka lagi, lu langsung terjun ke lapangannya untuk melihat secara langsung realitas yang ada, dan memikirkan solusi yang minimal bisa lu berikan pada saat itu. Dan dengan tulisan ini, lu bisa memperbesar potensi dari usaha lu.
Terimakasih sudah melakukan langkah nyata berperan dalam masyarakat dengan terjun langsung maupun dengan tulisan ini.
Terakhir, kalo boleh kasih impresi, gua rada bingung dengan kata 'inklusif' di awal tulisan, tapi ketolong sama arti dunia yang inklusif walau masih penasaran dengan kata inklusifnya itu sendiri
Btw, gua terinspirasi lho Zak, makasih yee.
Tetap bermanfaat ye Zak.
Dear Temen Gw di Kampus,
HapusGw ga tahu siapa lu tapi gw SENENG BANGET ada yang mau baca tulisan ini <3 Gw sejujurnya ragu bakal banyak yang baca tulisan sepanjang ini, tapi kalau pendek-pendek gw ga pengen pesan gw ga kesampean. Jadi, gw pikir mending dikit yang baca tapi beneran kesampean pesannya. Tahu bahwa ada orang kayak kamu yang mau baca dan nanggapin tulisan gw, rasanya seneng banget astagaaaaaaaaaa
Buat arti kata inklusif yang kurang jelas. Well, itu cukup disengaja. Gw menemukan bahwa arti kata inklusif itu berbeda bagi banyak orang. Maka dari itu gw pengen pembaca memaknai arti kata inklusif pelan-pelan lewat cerita ini. Makanya gw 3 kali nyebutin makna menjadi inklusif : memahami bahwa kita semua berbeda, menerima bahwa kita semua berbeda, dan menjadi inklusif itu adalah menjadikan dunia lebih baik. Gw pikir ga apa kita ga tahu definisi formalnya, tapi kita mengerti di dalam hati. Kayak, kita ga ngerti arti formal cinta, tapi kita bisa ngerasainnya.
*Gw tbh belom ngerasain sih wkwkwkwkkwkw
Sekali lagi, terima kasih banyak!
-Tambahan-
BalasHapusDoain gua ya biar bisa rutin membaca dan menulis
Tambahan dari gw :
Hapus1.AMIN
2.Kamu kayaknya orangnya asik. Aku bakal senang ngobrol bareng kamu
Dari cerita pengalaman bang zaka membuat saya termotivasi , aaaa makasi banyak. Dan aksi terjun langsung melihat keberadaan yang memang memang benar tuu saya akui sangat menyenangkan dan saya juga pernah demikian. Tapi dalam kurun waktu yang singkat jadi saya masih kurang untuk melanjutkan aksi tersebut. Kadang kurang dukungan, apalagi teman yang mau ikutan hikss :') . Padahal teman banyak tapi rasa percuma.
BalasHapusHalo, Anon. Aku senang kalau tulisan ini bisa memotivasi.
HapusAku pikir dengan kamu sudah punya niat dan motivasi sebesar itu udah merupakan hal yang hebat. Kalau menurut kamu hal yang aku lakukan lebih besar (aku ga kepikiran begitu sih), ga apa. Belum tentu niat dan motivasi aku sebesar dan sebaik kamu. Hanya mungkin kondisinya yang kurang mendukung. Tetap semangat aja sampai kondisi dan lingkungan mendukung. Setiap perbuatan baik tetap penting sekecil apapun itu :)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKenapa waktu usia 18, akutuch nulis ga serapi kamu, Zaka :")) sedih...
BalasHapusTidak ada kata terlambat untuk mencoba. Lagian, kita bisa minum ramuan mundur usia kok, supaya kembali 18. #galfok
Hapus