Ulasan Film : Gie (2005)



 *Prakata : Ulasan ini sebenarnya tugas sekolah hahaha. Foto-foto di postingan  ini juga cuma slide-slide di presentasi tadi siang (Eh, hahaha). Bukannya males, tadi ada yang rekues buat posting ini. Dan mau minta maaf juga kalau di ulasan ini ada sedikit spoiler. Bisa ada spoiler karena tuntutan struktur ulasan yang diajarin. Ini juga udah ngelawan dikit, dari yang mestinya di bagian evaluasi ceritain seluruh isi filmnya, di sini Zaka cuma jelasin garis besarnya aja (*biasanya kalau nge-review cuma cantumin sinopsis). Tapi alhamdulillah sama guru masih dikasi nilai 100 hahaha. Makasih Bu Husna, makasih teman-teman yang tadi udah aktif merhatiin dan nanya-jawab +- 50 menit pas Zaka di depan kelas. Jangan lupa janjinya buat nonton ;)

Pendahuluan      
         “Gie” adalah Sebuah film yang mengisahkan perjalanan hidup, pemikiran, serta pandangan Soe Hok Gie, seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang dikenal sebagai intelektual, pecinta alam, dan demonstran oleh masyarakat Indonesia hingga dunia.
Cerita dalam film ini diangkat dari diari Soe Hok Gie sendiri yang dipublikasikan dengan judul Catatan Seorang Demonstran. Dalam filmnya, Gie (2005) cerita berfokus pada menyampaikan pemikiran Soe Hok Gie dengan tambahan dramatisir dan tokoh fiktif.


Evaluasi
            Film “Gie” menceritakan kisah perjalanan hidup Soe Hok Gie, pemuda keturunan dan tumbuh dalam keluarga keturunan Tionghoa yang sederhana di Jakarta. Mulai dari latar lingkungannya semasa kecil di mana ia lahir di tengah perpecahan antara PKI dan militer, masa kecilnya yang banyak ia habiskan dengan membaca dan mengagumi pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh dunia yang membuatnya menjadi seorang idealis yang sangat intoleran terhadap ketidakadilan dan berkepedulian sosial tinggi.
Tumbuh besar hingga berkuliah di UI dan menjadi penulis lepas di surat kabar. Sifat-sifat aslinya tidak pernah hilang dan tidak jarang menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri. Kesulitan-kesulitan seperti sulit dimengerti teman, perjuangannya yang murni tanpa ambisi membuatnya sering dirugikan, terlebih sikapnya yang kritis terang-terangan hingga berani menyebut langsung nama tokoh-tokoh besar saat mengritik. Mulai dari menteri, presiden, hingga teman-temannya sendiri yang ia anggap berkhianat karena keras mengritik saat masih menjadi demonstran, kemudian melemah terhadap kekuasaan saat duduk menjadi pejabat. Seluruh kisah tersebut hingga akhir dari hidup Soe Hok Gie dirangkai menjadi satu dalam film “Gie” untuk menyampaikan Catatan Harian Seorang Demonstran kepada penonton.


Interpretasi
            Film “Gie” yang diracik oleh kolaborasi Mira Lesmana dan Riri Riza yang samgat populer di Indonesia menurut penulis sudah sangat baik dari segi fungsi film untuk hiburan dan edukasi, namun untuk menjadi acuan sejarah film “Gie” tidaklah relevan.
            Jika semua orang yang telah menonton film “Gie” ditanya mengenai hal yang paling membekas setelah menonton film tersebut, jawabannya pastilah cerita yang tidak biasa ada di perfilman Indonesia. Apresiasi yang tinggi memang perlu diberikan kepada kru film Gie. Di tengah maraknya film Indonesia yang hanya berorientasikan pada hiburan dengan tujuan akhir uang, film Gie hadir dengan tujuan yang berbeda. Selain untuk menjadi hiburan, film yang menceritakan seorang demonstran terkemuka Indonesia yang bahkan diakui oleh peneliti-peneliti luar negeri sebagai pemuda intelektual idealis hebat ini merupakan sebuah film yang berfungsi sebagai media edukasi agar masyarakat Indonesia khususnya para pemuda, terbakar semangatnya untuk memiliki idealisme.
            Lalu kelebihan berikutnya dari film ini yang tidak dapat diperdebatkan lagi adalah sinematografi yang disajikan. Misalnya saja untuk menunjukkan lompat waktu yang panjang dari saat Gie SMA hingga kuliah tidak sekadar menggunakan transisi kebanyakan yang biasanya menggunakan layar hitam dibumbui sedikit keterangan waktu dan penjelasan singkat, lompatan waktu dalam film Gie dibuat dengan dramatis di mana Gie SMA dan Gie Kuliah secara bergantian digambarkan mendaki gunung yang kemudian dakhiri dengan adegan Gie disapa teman-teman kuliahnya. Lalu di adegan terakhir yang menjelaskan kematian Gie, sinematografi yang sama digunakan, namun kali ini berjalan dengan kebalikan, dari Gie dewasa menuju Gie kecil. Tehnik ini sangat jenius karena sesuai dengan isi cerita, bisa dibilang merupakan sebuah semiotika, di mana di akhir cerita tulisan Gie mengenai refleksi hidupnya dikutip, misalnya kutipa populer, “Kita tak pernah menanam apa-apa, kita tak akan kehilangan apa-apa.” dari Gie. Tak heran untuk urusan sinematografi, film ini mendapatkan Piala Citra Festival Film Indonesia 2005 kategori pengarah sinematografi terbaik.
             Jika penulis tidak salah menghitung, setidaknya dalah sepuluh lagu latar yang digunakan dalam film ini. Menunjukkan bahwa untuk urusan suara, film ini sama sekali tidak main-main! Lagu dengan judul “Gie” bahkan diciptakan oleh Okta Ft.Eross khusus untuk film ini. Untuk bagian suara lain yang menarik perhatian adalah terdengarnya lagu “Genjer-Genjer” saat rombongan PKI melintasi jalan raya dalam film ini. Bagi penulis sendiri hal tersebut menimbulkan rasa yang unik dan berhasil membuat penulis tertawa getir dan kemudian langsung mengingat-ngingat apa yang penulis ketahui tentang Gestapu. (Sekadar informasi, “Genjer-Genjer” sendiri adalah lagu ciptaan Lilis Suryani untuk menyindir penjajah karena membuat rakyat terpaksa memakan sayur genjer karena tidak mampu, yang padahal genjer biasanya menjadi makanan ternak angsa. Lagu ini kemudian sering digunakan PKI untuk membangkitkan semangat melawan rakyat. Kemudian lagi, lagu ini dilarang diperdengarkan pada masa orde baru karena rezim tersebut menganggap lagu ini merupakan lagu propaganda PKI.).

            Beralih dari suara ke seni bermain peran. Sosok Soe Hok Gie yang ditampilkan dalam film “Gie” bukanlah sosok yang baru bagi seorang Nicholas Saputra. Sebelumnya dalam film Ada Apa Dengan Cinta, Nico telah memerankan tokoh dengan kepribadian yang kurang lebih sama bernama Rangga. Jadi wajar bila Nico terlihat sangat menjiwai sosok Gie yang digambarkan dingin, tidak mengerti cinta, kritis, dan keras. Selain Nicholas Saputra, film Gie menghadirkan beberapa aktris besar seperti WulanGuritno dan Sita Nursanti. Melalui bidang seni peran juga film Gie berhasil menorehkan prestasi, Nicholas Saputra didapuk sebagai pemeran utama pria terbaik dalam FFI 2005. Prestasi tersebut bukan hadir tanpa alasan, bahkan banyak kerabat Gie seperti adiknya mengucapkan salut kepada Nicholas Saputra yang ia anggap mampu meniru cara Soe Hok Gie berjalan.
            Satu-satunya faktor yang akan menganggu kenikmatan menonton film “Gie” adalah jika penonton adalah tipe orang yang tidak senang terhadap glorifikasi sejarah dan cenderung keras menekan sejarah untuk tidak dilebih-lebihkan. Glorifikasi sosok Soe Hok Gie bisa dibilang cukup kental dalam film ini. Sosok Gie yang menurut para kerabat beliau adalah pribadi yang senang berdiskusi, senang bercanda, dan cukup plaboy, digambarkan sebagai sosok yang tak banyak biacara dan cenderung tidak mengerti urusan dunia. Sejauh ini kekurangan yang berpotensi menganggu kenikmatan dalam menonton film “Gie” hanyalah glorifikasi yang sedikit berlebihan tersebut. Hal-hal lain yang mungkin dapat menganggu atau mengecewakan adalah banyaknya karakter fiktif, kondisi latar seperti keluarga Gie yang kurang jelas digambarkan dan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi selama masa hidup Gie. Bagi beberapa pihak yang banyak membaca sejarah Indonesia mungkin tidak akan bingung sama sekali dan dengan santai meneguk kopi sambil mengunyah jagung brondong, namun bagi beberapa orang peristiwa tersebut akan terkesan membingungkan.
            Penulis sendiri beranggapan bahwa glorifikasi tersebut adalah hal yang masih dapat ditoleransi. Mengingat, tujuan utama dari film ini adalah untuk mengenang sosok Soe Hok Gie, menyampaikan dan membuat orang-orang mengerti pemikiran-pemikirannya, dan yang terpenting adalah untuk membangkitkan semangat idealis pemuda Indonesia yang mulai redup. Di sisi lain, penulis beranggapan masyarakat Indonesia masih belum siap untuk menerima bila sosok Soe Hok Gie digambarkan secara gamblang.


Rangkuman
            Meski terdapat beberapa ketidaksesuaian antara penggambaran film dengan kenyataannya, hal tersebut dapat dimaklumi sebagai penyesuaian. Namun Sebagai sebuah film dengan fungsinya untuk menghibur penonton, media pendidikan masyarakat, dan kritik sosial, Gie (2005) berhasil diracik oleh Riri Riza dan Mira Lesmana dengan baik. Gie ditampil sebagai sosok idaman, seorang idealis sempurna yang kesepian  karena dikhianati zaman.     


Pontianak, 17 April 2017
Zakaria Anshari
SMAN 1 Pontianak
zakaria.anshari27@gmail.com





Komentar

  1. Keren! Pengen nonton ini jadinya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahhhh, dikomen Kak Sherennn.
      Baru baca nah. Udah ditonton kah, Kak?

      Hapus

Posting Komentar