Guru Cuma Satu, Tapi Murid Harus Menguasai Semua Pelajaran?



“Kalau guru cuma nguasain satu pelajaran, kenapa murid harus nguasain semua pelajaran?”
            Begitulah kira-kira postingan yang marak muncul di lini masa saya setiap tahunnya saat mendekati UN dan SBMPTN sejak saya masuk SMA, membeli hape, terus bikin line. Untungnya bapak-ibu guru walau hapenya canggih-canggih, mainnya kalau enggak facebook ya whatsapp.
            Saya bingung harus memulainya dari mana, tapi yang pasti saya kesal. Mereka-mereka yang ngeposting ini merasa banget dituntut untuk “menguasai” banyak pelajaran. Seolah-olah dituntut untuk memahami fisika kuantum, biologi mikro, atau pertentangan kelas. Padahal kan ya lulus UN itu Cuma butuh nilai 5,5. Nilai rapor pun asal ga macem-macem kayak ngerokok, mabok, atau kurang ajar seperti neriakin “MOBA KOK ANALOG?!” ke guru yang main mobile legend, bakal disulap melampaui ketuntasan.
            Lagi pula, siapa yang bilang untuk jadi guru itu cuma perlu bisa satu pelajaran? Jelas keliru ini. Contoh sederhananya sih kemampuan berbahasa guru yang kurang bagus akan berpengaruh buruk ke kemampuan guru tersebut menyampaikan materi. Contoh lainnya kalau guru biologi ga ngerti matematika, gimana mau ngejelasin materi persilangan sama frekuensi genotipe dalam populasi? Atau yang paling fatal kalau guru PKN buta sejarah, ya tiap ngajar bahasnya pasti G30S/PKI berdasarkan broadcast whatsapp.  Terus kok gak mikir gitu ya, emangnya guru-guru kita ini sebelumnya enggak pernah jadi murid? Aduh~

“Iya sih bener, tapi kan aku ga mau jadi guru?”
            Hmmm. Tapi kalian mau kuliah kan? Mau masuk mana? Teknik? Yakin ga bakal perlu matematika, fisika, sama kimia lagi? Terserah deh mau sebutin jurusan apa karena mau masuk jurusan apapun waktu bikin skripsinya mesti make ilmu bahasa Indonesia. Sama juga dengan matematika yang sering dibutuhkan waktu penelitian.
            Lalu gimana dengan pelajaran lain kayak sejarah, PKN, bahasa Inggris, dll? Bakal panjang sih kalau mau dibahas satu-satu, tapi kita lihat dari fenomena yang terjadi di Indonesia akibat buruknya pemahaman mengenai disiplin ilmu-ilmu yang diajarkan di SD, SMP, dan SMA.
            Kita mulai dari pelajaran sejarah. Ga perlu jauh-jauh bahas konspirasi dan pengaburan sejarah yang rumit semacam DI/TII, Gestapu, atau dokumen-dokumen yang disembunyikan Belanda selama penjajahan. Perihal agama yang dianut Majapahit aja meski udah diajarin dari SD, masih banyak yang percaya bahwa Majapahit adalah kerajaan Islam dan Gajahmada nama aslinya Gaj Ah Mada.
            Lanjut ke PKN. Akibat kita selalu menekankan bahaya westernisasi dalam melestarikan budaya, kita abai dengan besarnya pengaruh budaya Korea dan Jepang yang kini terasa sekali pengaruhnya. Termasuk ke saya yang suka K-Pop ini hehe.
            Kalau untuk pelajaran bahasa Inggris, saya rasa teman-teman semua bisa lihat sendiri bagaimana caption-caption di media sosial dapat menyebabkan kanker.
            Yang teranyar adalah hukum kekelan energi yang diajarin sejak SD terbukti gagal masuk ke otak orang Indonesia melalui proyek Blue Energy dan penelitian mahasiswa yang terancam dapet nobel.
“Tapi kan tetep aja kalau aku mau jadi pengusaha, artis atau politikus, aku ga butuh matematika, fisika, kimia, dan biologi.”

SIAPA YANG SURUH LU MASUK JURUSAN MIPA WOI!
           

            

Komentar